Sebulan terakhir ini kami diberikan kesempatan untuk
menulis apapun yang ingin kami sampaikan kepada masyarakat dunia maya, menulis
apapun yang datangnya dari hati dan berangkat dari keresahan kami sehari-hari.
Dan hari ini, izinkan saya untuk beropini kembali,
sebelum saya akhirnya memutuskan untuk kembali menulis dan menganalisa seputar isu-isu dunia
hubungan internasional.
Tulisan saya kali ini akan jauh berbeda dari
biasanya, mungkin tidak akan ada unsur ilmiah sama sekali namun semoga
teman-teman menangkap pesan yang ingin saya sampaikan dengan baik.
Video tersebut saya temukan di akun youtube Al-Jazeera
yang dipublish tanggal 12 Desember 2017 berjudul Indonesia | Jakarta’s Princess
of The Dump, Bantar Gebang. Awalnya saya kira video ini seluruhnya akan berisi
mengenai kondisi pengelolaan sampah di Bantar Gebang tapi ternyata tidak. Video
ini berisi seorang perempuan luar biasa yang mendedikasikan dirinya untuk mengajar
adik - adik kita di Bantar Gebang dengan membuka sanggar edukasi dan bisnis
recycle sampah. (kondisi lebih lanjut bisa dilihat di video)
Hal ini kemudian membuka pikiran saya.
6 tahun mencoba untuk tertarik pada kondisi
perpolitikan Indonesia dan hampir 3 tahun saya menjadi mahasiswa yang menuntut untuk menjadi mahasiswa yang kritis. Iya, terlalu
kritis hingga saya lupa untuk menjadi mahasiswa yang dapat memberikan solusi
nyata bagi masyarakat yang membutuhkan bantuan.
Sering saya berdiskusi dengan teman-teman baik dari
jurusan politik maupun non-politik atau membaca postingan sosial media dimana
teman-teman mahasiswa dari seluruh penjuru Indonesia berlomba-lomba untuk
menyuarakan aspirasinya, mengkritik mengenai kondisi politik, ekonomi, sosial
dan hukum di Indonesia dengan tingkat analisa yang mengagumkan. Sejujurnya, ini
menakjubkan buat saya karena tandanya banyak juga mahasiswa Indonesia yang
akhirnya ‘melek’ politik.
Hingga saya sadar satu hal saat saya berdiskusi dan
membaca postingan teman-teman semua.
Kita ini bukan diskusi,
kita berdebat.
Kita ini bukan sedang mencari solusi,
tapi kita beradu gengsi, siapa yang kemudian akan
memenangkan perdebatan.
Ini berbahaya. Mengapa? Karena kita terlalu focus
dengan apa yang berbeda dalam pendapat kita, terlalu terlena dengan pengakuan
dan kemenangan hingga lupa bahwa kita ini Indonesia. Dunia pendidikan telah
mengubah kita menjadi orang-orang ambisius, individualis, kritis tetapi tidak
punya solusi jangka panjang untuk masa depan bangsa. Kita berlomba-lomba
mengejar pengakuan untuk mana yang lebih baik, siapa yang lebih baik, dan universitas
mana yang paling baik. Sadarkah kita kalau ini menyedihkan?
Saya tidak takut dengan bagaimana Indonesia 5 tahun
ke depan, yang saya takuti adalah bagaimana Indonesia 20 tahun ke depan. Saat
saya, kamu, kita memiliki kesempatan menduduki kursi pemerintahan 20 tahun ke
depan. Akankah kita lebih baik dari para politisi yang saat ini duduk di kursi
rakyat atau bahkan di istana negara? Atau apakah kita lebih baik dari para
politisi yang berakhir di balik jeruji besi, padahal 20 tahun yang lalu mereka
yang paling keras berteriak untuk memimpin orasi?
Pro-kontra Pemerintah Indonesia saat ini banyak
diberitakan, ini baik untuk tetap mengkontrol kinerja pemerintah dan
menumbuhkan iklim demokrasi Indonesia selama tetap beradab, berdasarkan fakta
dan tidak menyinggung SARA. Hanya saja banyak dari kita yang kemudian terlalu
banyak mulut tapi tidak benar-benar memberikan solusi hingga ke akar
permasalahannya.
Akar permasalahan? Bagaimana maksudnya? Ya terjun ke
masyarakat langsung, cari, lihat apa yang mereka alami, beri solusi ke semua
lapisan baik masyarakat maupun pemerintah, kemudian mendedikasikan diri untuk
Indonesia yang lebih baik seperti mbak Resa Boenard yang ada di video itu. Semuanya
dapat dimulai dari diri kita sendiri, lalu memberikan uluran tangan untuk
orang-orang di sekitar kita yang membutuhkan.
Jujur, ini tamparan juga untuk diri saya dan semoga
untuk seluruh mahasiswa Indonesia.
Sudah berapa banyak masyarakat miskin, adik-adik kita
yang tidak bisa bersekolah karena masalah finansial, gizi buruk, orang-orang
yang masih menjadi budak akibat liberalisasi ekonomi, yang sudah teman-teman
datangi untuk kita bantu?
Tidak ada? Maka seharusnya agent of change itu tidak
pernah ada.
“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan
menanggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat
yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka
lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali” – Tan Malaka.
Kita bilang kita sudah bisa merasakan penderitaan
rakyat melalui media, kalau begitu tidakkah kita sadar kalau apa yang selama
ini kita orasikan belum tentu itu yang rakyat minta? Tidakkah kita melihat
kalau itu bisa saja hanya permainan media untuk menimbulkan reaksi dan
menggodoknya lagi menjadi berita?
Dan mengapa harus akar permasalahan? karena menyembuhkan
itu mudah, tetapi menjaganya tetap sehat itu sulit. Hal ini sama dengan
permasalahan rakyat. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat awam tentang ilmu
yang kita dapat di kampus itu mudah, tapi mengubah pola hidup mereka diluar
kebiasaan sehari-hari itu yang sulit. Maka dari itu, kalau ingin menyelesaikan permasalahan
rakyat ya turun bukan cuma dari media! Pahami betul bagaimana kehidupan mereka
sehari-hari. Jangan cuma turun agar proker terlaksana, pencitraan atau sekedar
mendapatkan sertifikat pengabdian yang cuma seminggu dua minggu lalu menuntut
pemerintah untuk membereskan segalanya dalam 5 tahun.
Pemerintah butuh kritik, tapi kita sering lupa kalau
pemerintah juga butuh apresiasi. Buat apa? Ya biar tau mana program yang harus
tetap dijalankan dan dikembangkan mana juga yang harus dievaluasi dan dibenahi
agar program tidak melulu harus berganti setiap pemimpin sebelumnya pergi.
Pantau, Kaji, Kritik, Apresiasi, Evaluasi, Solusi!
Kadang kita terlalu ribut untuk menyembuhkan yang
jauh, lupa bahwa di dekat kita banyak yang membutuhkan uluran tangan. Pembuatan
kebijakan dan pengimplementasiannya butuh proses yang lama teman-teman, maka
dari itu mahasiswa juga dibutuhkan bukan hanya sekedar untuk kajian tapi juga
bertindak membenahi pola pikir masyarakat. Seperti yang ada di video tersebut,
membenahi pola pikir orang tua di kawasan Bantar Gebang bahwa anaknya butuh
sekolah itu sulit luar biasa. Menurut mereka sekolah hanya buang-buang uang. Mengenaskan
bukan? Saat adik adik kita tidak bisa bersekolah karena keadaan dengan
cita-citanya yang sederhana sementara kita yang diberikan kesempatan sibuk
berdebat tanpa solusi yang berkelanjutan? Iya, akar permasalahan yang
sebenarnya adalah pola pikir masyarakat yang masih susah untuk diubah dan ini
tugas kita bersama.
ah! Bolehkah saya bermimpi kalau akan datang suatu
masa dimana seluruh pemuda Indonesia khususnya mahasiswa akan sepenuhnya
mengabdi kepada negeri seperti mbak Resa, termasuk saya?
Coba renungkan satu hal.
Teruntuk mahasiswa Indonesia yang katanya bergerak
berdasarkan hati nurani rakyat,
Rakyat yang kita maksud siapa?
dan sudah siapkah kita bila menggadaikan sedikit idealisme
cita-cita dan masa depan cemerlang kita untuk mengabdi kepada masyarakat saat
kita lulus nanti seperti mbak Resa?
Februari, 2018
L.
L.
Note : Tulisan ini awalnya diperuntukkan untuk kajian. Namun, untuk menghindari kontroversi atas nama organisasi jika tulisan ini di upload di sosial media maka saya memutuskan untuk mengupload nya di blog pribadi tanpa pengubahan dalam isi tulisan. Ini tulisan yang datangnya dari hati. Tidak usah di kritik, cukup di renungi dalam hati. Sudah cukup baikkah kita sebagai mahasiswa Indonesia? Terima Kasih :)
Komentar
Posting Komentar